Slacklining Ketinggian (Highlining) adalah perpaduan unik antara olahraga ekstrem dan meditasi, melibatkan berjalan di atas seutas tali datar yang dipasang melintasi jurang, antara dua puncak gunung, atau di antara gedung-gedung tinggi. Meskipun tampak seperti aksi nekat yang mengandalkan otot, esensi dari highlining jauh lebih dalam. Disiplin ini secara fundamental adalah tentang kemampuan untuk Melatih Keseimbangan bukan hanya pada tingkat fisik, tetapi juga mental. Berjalan di atas jurang ratusan meter menuntut koneksi yang sempurna antara core (inti tubuh) dan pikiran, memaksa praktisinya untuk mencapai kondisi fokus absolut guna menstabilkan slackline yang terus bergoyang. Hanya dengan Melatih Keseimbangan secara holistik inilah, seorang highliner dapat menguasai tali tipis tersebut.
Secara fisik, highlining adalah latihan core dan otot penstabil yang paling intens. Otot-otot kecil di kaki, pinggul, dan punggung harus bekerja tanpa henti untuk mengoreksi setiap goyangan tali yang disebabkan oleh angin, getaran, atau bahkan detak jantung highliner itu sendiri. Untuk mencapai kondisi fisik yang dibutuhkan, Program Latihan Kebugaran mencakup sesi intensif slacklining rendah (lowlining) yang dilakukan selama minimal 4 jam setiap hari Jumat di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Selain itu, latihan yoga dan single-leg balance di darat dilakukan secara rutin. Sebagai contoh, pada kompetisi Highline Asia Challenge 2024 di Taman Nasional Gunung Rinjani, Lombok, pemenang kategori ketahanan, Bapak David Kurniawan, menekankan bahwa kemenangannya didasarkan pada kekuatan core dan pernapasan yang stabil, hasil dari Melatih Keseimbangan tubuh yang ekstensif.
Namun, aspek psikologisnya jauh lebih menantang. Berada di ketinggian ekstrem memicu respons fight-or-flight alami tubuh. Tugas highliner adalah mengendalikan respons ini. Mereka harus Melatih Keseimbangan emosi dan rasa takut, mengubah kepanikan menjadi ketenangan terfokus. Jika terjadi jatuh, sistem pengaman (leash dan harness) akan menahan mereka, tetapi rasa kegagalan dan upaya untuk kembali ke tali membutuhkan kekuatan mental yang luar biasa. Insiden pada tanggal 9 Maret 2025 di Tebing Karst Citatah, Padalarang, menunjukkan betapa pentingnya faktor mental ini. Seorang highliner amatir mengalami kepanikan saat berada di tengah tali, yang memaksa tim penyelamat dari Basarnas Jawa Barat melakukan evakuasi yang rumit pada pukul 16.00 WIB. Kepala Tim Operasi Basarnas, Bapak Ahmad Riyadi, mengkonfirmasi bahwa kondisi fisik pendaki tersebut sebenarnya prima, tetapi mentalnya gagal mengelola rasa takut.
Intinya, highlining mengajarkan bahwa kontrol datang dari pelepasan. Ketika seorang highliner berhasil Melatih Keseimbangan antara upaya fisik dan ketenangan mental, mereka memasuki kondisi flow di mana setiap gerakan menjadi intuitif. Proses ini, di atas jurang, menjadi pengingat kuat akan potensi pikiran manusia untuk mengatasi kondisi lingkungan yang paling ekstrem sekalipun.